Jangan Biarkan Retorika Jalanan Menyandera Masa Depan Lombok Tengah
Oleh : Apriadi Abdi Negara
Bumigorapost – Pariwisata Lombok Tengah tengah memasuki fase penting dalam sejarahnya. Kehadiran hotel, villa, dan resort tidak bisa dipandang sebatas deretan bangunan mewah.
Lebih dari itu, setiap pembangunan adalah pintu bagi terbukanya lapangan kerja, peluang bagi UMKM lokal, dan jalan keluar dari jerat kemiskinan yang selama ini membelenggu masyarakat.
Menjaga iklim investasi berarti menjaga masa depan ekonomi daerah. Sebab kita tahu, kemiskinan bukan hanya persoalan dompet, tetapi juga berimplikasi pada meningkatnya kriminalitas, angka putus sekolah, hingga kerentanan sosial lainnya.
Namun, sayangnya narasi yang digulirkan Koalisi Mahasiswa, Pemuda, dan Masyarakat (Kompas) NTB justru cenderung menjauhkan publik dari substansi ini.
Alih-alih mengedepankan solusi, mereka menyerukan aksi besar menolak “ketidakadilan” dengan menuding DPRD dan pemerintah daerah berpihak pada investor nakal. Padahal, banyak klaim yang mereka lontarkan sarat kekeliruan hukum dan rawan menyesatkan.
Pertama, isu “hotel tanpa IMB” jelas keliru. Perlu diingat, sejak diberlakukannya PP Nomor 5 Tahun 2021, IMB sudah tidak berlaku lagi.
Mekanisme izin kini diganti dengan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Maka, menyebut adanya “IMB bodong” sama sekali tidak relevan.
Kedua, pemerintah tidak bisa serta-merta membongkar bangunan yang dituding bermasalah. Ada mekanisme hukum yang harus ditempuh, mulai dari teguran administratif, penghentian sementara, hingga penertiban.
Tuduhan diamnya pemerintah bukan berarti tunduk pada investor, melainkan wujud kehati-hatian agar setiap kebijakan tetap sejalan dengan asas kepastian hukum.
Ketiga, klaim tentang “200 hotel bodong dibekingi pejabat” hanyalah tuduhan tanpa bukti. Jika memang ada indikasi suap atau pelanggaran, jalur yang tepat adalah melapor ke aparat penegak hukum, bukan sekadar mengumbar orasi di jalanan.
Keempat, membandingkan pedagang kaki lima dengan investor besar juga tidak adil. PKL umumnya menempati ruang publik yang memang harus ditata, sedangkan hotel berdiri di atas lahan privat dengan mekanisme izin yang berbeda. Menyamakan keduanya hanya menggiring opini publik ke arah yang salah kaprah.
Adapun tudingan Kompas NTB terhadap PT Torok Deployment (Samara Hills) juga terasa berlebihan. Dugaan pelanggaran Perpres 51/2016 maupun UU 27/2007 tidak bisa diputuskan secara sepihak, melainkan harus melalui audit tata ruang dan kajian teknis oleh lembaga berwenang.
Bahkan enam tuntutan yang mereka ajukan, mulai dari pembongkaran proyek hingga desakan kepada BPN banyak yang keliru alamat. Pada akhirnya, masyarakat Lombok Tengah sebaiknya tidak terjebak dalam retorika jalanan.
Perjuangan rakyat hari ini bukan sekadar berteriak menolak, melainkan memastikan investasi berjalan sehat, membuka lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan. Itulah solusi nyata, jauh lebih penting daripada memperdebatkan dokumen administratif yang pada akhirnya dapat diselesaikan lewat mekanisme regulasi.
Investasi yang terkelola baik adalah harapan bersama. Menjaganya sama dengan menjaga masa depan Lombok Tengah agar tetap berdaya, berdaulat, dan sejahtera.
